Karya di Ruang Tunggu

 

Tragedi hidup bukanlah karena hidup begitu cepat berakhir tetapi karena kita menunggu begitu lama untuk memulainya.

~ W.M. Lewis ~

Aku merogoh dan mencari-cari di dalam saku  celana. Kutemukan selembar lima ratusan, masih baru. Perfect!

Dengan segera tanganku sibuk melipat-ubah lembar uang itu. Sejak awal proses origami itu mata bocah, yang duduk di bangku sampingku, terpaku menatap. Ketika ’seekor kodok’ kehijauan membentuk, matanya makin tidak beranjak dari gerak tanganku. Ada takjub bermain di wajah polosnya ketika, akhirnya, ’kodok’ itu berjumpalitan ke lantai dan, secara ajaib, jatuh dalam posisi tegak, tidak terbalik.

Aku memungut ’kodok’ itu dan mengulurkan kepadanya. Dengan ragu-ragu ia menerimanya. Kebingungan tercermin di wajahnya. Ketika aku mengajarinya melompatkan ’kodok’ itu dengan menekan bagian belakang ’binatang’ itu, ia memperhatikan. Sejenak kemudian dia sudah asyik dengan ’kodok’ jelmaan lima ratusan itu; tawa kecilnya mengiringi tiap jumpalitan. Buat sesaat suasana ruang tunggu dokter itu tidak menyesakkan dan tidak membosankan buatnya.

Jumping frog dan juga flapping bird merupakan rekaan sederhana dan ’siap saji’ yang hampir selalu membawa hasil: mengusir kebosanan dan rasa tidak enak bocah-bocah kecil di ruang tunggu. Tidak butuh lama menghapalkan cara melipat kedua bentuk ’hewan’ itu. Tidak butuh kertas khusus untuk membuatnya (cuma, aku selalu paling puas menggunakan lima ratusan baru bila membuat ’kodok melompat’).

Selain bermanfaat buat bocah-bocah ’target’ seperti di atas, aku juga tidak kurang menikmati manfaat dari ’karya ruang tunggu’ semacam itu.  Menyaksikan seorang bocah bermain asyik, ketimbang rewel bosan penuh rengek, well . . . aku menikmatinya. Aku menikmati karena, setidaknya, aku ’mempersembahkan’ sesuatu, aku menggubah sesuatu yang berguna buat orang lain walaupun itu cuma buat bocah-bocah kecil.

Memanfaatkan waktu tunggu demikian tidak lepas dari pengalamanku sekian puluh tahun yang lalu. Kala itu, sebagai pegawai yang banyak berkunjung ke kantor-kantor cabang, aku selalu ’kelebihan’ waktu (aneh tapi nyata: di cabang-cabang itulah aku belajar dan sadar betapa besar beda irama kerja Jakarta dan kota-kota lain yang lebih kecil). Tiap pagi selalu saja ada satu dua jam waktu terluang: menunggu kendaraan mengantar ke pelanggan, menunggu kesempatan ketemu ’petinggi-petinggi’ cabang atau bentuk menunggu-menunggu yang lain.

Sketsa Tercecer
Sketsa Tercecer

Kelebihan waktu itulah kemudian kugunakan mencorat-coret lembar notes. Jadilah sketsa potret selebriti yang kucontoh dari foto-foto dalam majalah. Sayangnya, sketsa-sketsa itu jadi karya yang tersia-sia karena begitu waktu menunggu selesai aku meninggalkannya begitu saja, terbengkalai di meja ruang tunggu: tidak kubuang ke tempat sampah, tidak juga kusimpan atau kubawa.

Cukup banyak karya ruang tunggu yang bernasib demikian. Barulah ketika ada seorang staf kantor di Medan sana menyimpan karyaku (dia memasukkan sketsaku ke dalam kaca pelapis meja kerjanya), aku mulai menyadari nilai karya nganggur-ku itu. Menyaksikan sketsa potret Paramitha Rusadi (kala itu, wanita ayu ini sedang naik daun) berdampingan dengan kartu-kartu nama dan catatan-catatan penting di balik kaca mejanya, aku terkesima. Ternyata kegiatanku ’membuang-buang waktu’ tidak seperti kelihatannya.

Aku sempat bertanya untuk apa sketsa-sketsa itu disimpan. Dengan logat Bataknya yang kental ia bergurau, ”Eh . . . mana la tau Bang Ming jadi pelukis terkenal, kan gambar ini boleh kujual mahal, ha ha . . . .” Aku tersenyum, naif dan bingung.

Well . . . aku tahu aku tak akan sampai jadi pelukis terkenal. Sehingga banyaknya sketsa yang tersia-sia dulu tidak akan memberati hati (walau kala mengetik kata-kata ini ada juga sesal kenapa tidak kukumpulkan untuk koleksi pribadi L). Mungkin saja keasyikan bocah-bocah di ruang tunggu dokter tidak berumur panjang, segera sirna ketika flapping bird-nya aus-rusak atau ada yang ’membunuh’ sang jumping frog untuk mengambil lima-ratusannya. Tapi setidaknya aku tidak terlalu sering mengeluh-kesahkan, ”Huh . . . menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan” sehingga membuang kesempatan ’belajar’, ’bermain’ dan membagi manfaat.

Published in: on 26 September 2008 at 6:18 pm  Comments (1)  
Tags: , , , , , ,

The URI to TrackBack this entry is: https://kilauembun.wordpress.com/2008/09/26/karya-di-ruang-tunggu/trackback/

RSS feed for comments on this post.

One CommentTinggalkan komentar

  1. he he he .. at least I got one of your “sketsa yang tak tercecer” on my T shirt Ming…

    😀 that’s not sketsa (apalagi tercecer). It’s a painting and on special request, too. So you should keep it as a collector item . . . ha ha.

    Yang di ruang tunggu itu yang tercecer 😀


Tinggalkan komentar